“LEAP OF FAITH”
- Sema Indonesia
- Oct 30, 2019
- 3 min read
Sebuah kritik terhadap Fideisme
Oleh: Reggy Leo (Agkt. 56)
Konsep Fideisme
Fideisme adalah pandangan epistemologis yang memahami bahwa keimanan adalah suatu hal yang terpisah dari nalar. Dalam artian lain, iman dinilai lebih tinggi ketimbang nalar dalam menentukan justifikasi atas kebenaran—nalar dinilai tak tepat atau tidak kompeten untuk dilibatkan dalam urusan keimanan. Fideis memiliki prinsip iman melampaui logika dan selalu berada di atas logika. Konsep iman fideis tidak terikat dengan akal karena bagi mereka segala hal tidak selalu dapat dimengerti oleh akal, justru karena imanlah seseorang dapat memahami kebenaran, sama seperti yang dinyatakan Anselm de Canterbury yang diringkas menjadi Credo Ergo Sum yang artinya ‘aku percaya maka aku ada.’ Berdasarkan prinsip tersebut, para fideis pada dasarnya juga menentang cara berpikir filosofis yang selalu skeptical sehingga mengajukan berbagai pertanyaan analitis kritis untuk menemukan kebenaran. Tetapi bagi fideis pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah menghasilkan penyelesaian yang dapat membawa kepada pemahaman akan kebenaran, justru dengan iman/percaya lah manusia dapat memahami kebenaran sejati.
Walaupun seseorang tidak mengaku dirinya fideis, konsep fideis bisa jadi masuk ke dalam pemahaman teologi seseorang yang dapat termanifestasikan dalam berbagai dimensi kehidupannya.
Kritik Kepada Fideis
Berdasarkan konsep fideis tersebut, dapat disimpulkan sebenarnya fideis sedang melakukan leap of faith atau loncatan iman. Seakan-akan ada gap antara iman dan akal budi yang menyebabkan fideis harus melakukan loncatan agar mereka dapat memahami kebenaran tanpa memakai akal budi.
Leap of faith sendiri sebenarnya menunjukkan perendahan akal budi sebagai karunia Tuhan untuk dipakai manusia. Dengan melakukan loncatan iman, fideis sebenarnya menolak akal budi sebagai alat untuk memahami kebenaran. Tuhan memberikan dua jenis wahyu, yaitu wahyu umum dan wahyu khusus. Kedua jenis wahyu tersebut dapat dimengerti oleh akal budi secara empiris maupun secara rasional, kedua cara tersebut juga dapat mengarahkan manusia kepada pengenalan akan Tuhan. Melakukan loncatan iman berarti menolak kedua metode tersebut untuk memahami kebenaran, karena dalam paham Injili yang penting adalah ‘percaya’.
Perbandingan dengan Konsep Kierkegard
Jika dibandingkan dengan konsep Soren Kierkegard, bapa filsafat Eksistensialis,

konsep iman fideis memiliki kemiripan, yaitu sama-sama melakukan leap of faith. Kierkegard mengatakan bahwa manusia tidak dapat memahami kebenaran yang objektif, untuk memahami kebenaran, seseorang harus melakukan leap of faith. Konsep ini sendiri akhirnya jatuh kepada subjectivism atau relativism karena kebenaran adalah sesuai dengan iman masing-masing, padahal manifestasi iman setiap orang tidak selalu sama.
Faith and Reason are Integrated
Iman dan akal budi sesungguhnya tidak dapat dipisahkan (Inseparable Faith and Reason), keduanya berjalan bersama-sama. Penulis menyebutnya sebagai integrated faith and reason (Iman dan akal budi yang terintegrasi). Dalam pemahaman Thomas Aquinas, akal budi berusaha untuk mengkaji, meneliti, mencari sebab –akibat; sedangkan iman membuat manusia menerima hal yang tidak dapat dipahami, mirip dengan intuisi. Iman mengembalikan akal budi kepada Allah dan akal budi menguji iman dengan alat ukur obyektif, yaitu firman Tuhan, agar iman tidak menyimpang.
Menurut penulis, Integrated Faith and Reason juga sama-sama melakukan leap of faith, tetapi dengan konsep yang berbeda. Fideis dan Eksistensialis Kierkegard melakukan leap of faith karena menemukan adanya gap, tetapi Integrated Faith and Reason melakukan leap of faith karena ada tingkat yang lebih tinggi untuk memahami kebenaran tanpa memisahkan keduanya.
Leap of faith ini bukan berarti adanya tingkatan iman orang percaya dari yang

paling rendah sampai paling tinggi. Konsep ini adalah two-level steps, yaitu dari unbeliever naik menjadi believer, dan sebagai believer iman dan akal budi dibaharui oleh Allah (Rom. 12:2). Iman dan akal budi yang dibaharui berpijak kepada firman Tuhan sebagai dasar, sehingga setiap hal yang dipercaya dan setiap pemikiran akan diukur dengan Alkitab. Dengan demikian tidak ada perselisihan atau marginalisasi antara iman dan akal budi.
Application of Integrated Faith and Reason
Tono sekolah di suatu sekolah tinggi teologi, ia adalah mahasiswa tingkat V dan sebentar lagi ia akan yudisium. Tetapi, Tono belum bisa melunasi uang yudisium padahal tiga hari lagi acara yudisium akan dilaksanakan. Jika Tono tidak melunasi uang yudisium, maka ia tidak dapat mengikuti acara yudisium tersebut. Tetapi Tono tetap percaya, jika Tuhan mau dirinya mengikuti Yudisium pasti Tuhan akan sediakan dana yang dibutuhkan, entah dengan usaha yang dilakukan Tono maupun dengan tiba-tiba diberi oleh orang lain.
Akal budi Tono menguji imannya dengan firman Tuhan, yaitu Allah akan mencukupkan kebutuhan anak-anak-Nya Dengan demikian Tono beriman tetapi juga tetap memakai akal budinya yang berlandaskan firman Tuhan yang adalah kebenaran objektif.
Комментарии