Pietis ?????
- Sema Indonesia
- Oct 30, 2019
- 2 min read

Oleh: Imanuel Rambe
Tingkat 5 Teologi
Fundamentalisme adalah gerakan yang bersifat antar denominasi dan antar konfesi, artinya tidak terbatas pada aliran gereja ataupun pengakuan gereja tertentu. Namun gerakan ini mengalami kemerosotan pada dasawarsa 1930an dan bangkit kembali tahun 1960an melalui gerakan Neo Evangelical yang belakangan ini Cuma disebut Evangelikal. Salah satu paham yang dianut adalah pietisme. Setidaknya ada tiga fokus utama dalam gerakan ini:
1. Iman yang berpusat pada Alkitab
2. Persekutuan, pengampunan, pertobatan, rasa berdosa
3. Proklamasi Iman melalui nyanyian, kesaksian dan semangat menginjili
Gerakan ini dibentuk untuk menghidupkan iman dalam kalangan orang orang Protestan di Jerman, karena terjadinya kemerosotan ajaran karena pengaruh semangat pencerahan. Sikap apatis bukanlah tujuan dari gerakan ini. Berdasarkan pengamatan penulis, Evangelikal sangat menekankan ketiga poin diatas. Tapi apakah mereka yang melakukannya disebut menganut paham pietis? Menurut hipotesa saya, secara teori dan praktiknya kaum Evangelikal adalah pietis. Untuk membuktikannya kita akan mengamati beberapa fenomena yang kerap kali kita jumpai dikalangan orang orang yang mempraktekan paham pietis tersebut. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa mereka pietis, tetapi tidak sedikit dari mereka yang menyangkal pernyataan itu. Kita bersyukur kehadiran gerakan pietis ini, yang banyak mendukung berdirinya gereja, khususnya di Indonesia. Apalagi kita hidup di zaman pluralisme, kemajemukan pandangan yang bisa saja mengganti pietis menjadi ”Ateis”.
Yesus tidak pernah mengajari kita untuk saling menghakimi, semua orang Kristen pasti menyetujui dan memahami hal ini. Dikalangan orang-orang yang menganut paham “pietis” seringkali bersifat apatis terhadap paham baru yang berkembang atau paham yang berbeda dengan apa yang ia pahami kita harus waspada, sikap apatis seringkali sikap ini berunah menjadi individualis .Lebih jelasnya beberapa dari mereka yang membudayakan paham pietis sangat anti dengan apa yang disebut liberalisme. Berbuat salah, penafsiran alkitab yang sediki “liar” dikatakan sesat, menghormati mimbar sebagai lambang menghormati Allah hukum mimik dan ekspresi sangat menentukannya. Di zaman ini kita dituntut kreatif dan kita juga di tarik untuk memahami betapa kaya dan megahnya pengetahuan yang Tuhan limpahkan kepada umat manusia. Berbicara mengenai Tuhan, kita sepakat bahwa Dialah yang menciptakan segalanya, termaksud ilmu dan cara berpikir. Melalui cara berpikir, kita juga dituntut untuk menghormati orang lain. Merasa diri paling suci, semua keputusan didasarkan pada “suara Tuhan”. perjuangan iman yang cukup “ekstrim” misalnya; kalau uang tidak ada berdoa saja, beriman, jangan bilang siapapun, doakan saja Tuhan pasti memberikannya. Kita memahaminya secara teoritis, bukan secara praktis, dengan kata lain, praktek berbeda dengan teori. Baiklah, mari kita melihat apakah dogma dan praktik yang kita anut dan yang kita lakukan mengasilkan kesalehan? (praktik yang dimaksud adalah paham yang dianut pietis. Pietis sendiri artinya kesalehan, maka keduanya haruslah berjalan simultan)
Mungkin kita penganut Evangelikal Konservatif, Fundamental, Ortodoks dengan melakukan beberapa paham yang kita lakukan untuk mencapai kesalehan itu. Tapi kelakuan hidup seperti mereka yang kerap kali dikatakan liberal. Kita bersahabat dengan fakta, pluralisme jelas sudah mulai tampak melalui toleransi umat beragama, mungkin itu doa bersama atau bakti sosial yang kita anggap sebuah toleransi. Kita tidak memahami pluralisme dalam arti sosial, acapkali toleransi bergeser kepada kesatuan pemahaman tentang Tuhan yang kita sembah. Yang saya mau katakan dalam tulisan ini, bahwa praktik yang kita lakukan kiranya mempertahankan kemurnian iman kita. Seringkali penganut paham pietis ini, menganggap orang lain liberal, sesat dan tidak alkitbiah. Mungkin kita pietis secara teoritis namun kita liberal secara praktis.
Comments